loading...
Sebanyak 32 negara akan ber ta rung pada 64 pertanding an menggu nakan 12 stadion di 11 kota. Hajatan pesta olahraga terakbar, terbesar, dan “tersakral” bagi jamaah sepak bola sejagat raya. Sebuah ritual empat tahunan yang layak ditunggu-tunggu demi kejayaan 32 negara yang mengusung spirit vini vidi vici . Syahdan, di luar gemerlap seremoni dan ritualnya, Piala Dunia 2018 diprediksi hanya menjadi pertarungan hege moni tim langganan Piala Dunia. Hegemoni itu bernama Der Panzer Jerman, Matador Spanyol, tarian Samba Brasil, hingga liukan Tango Argentina. Jika memang hanya melanggengkan hegemoni tim-tim mapan, lalu apa me nariknya membincangkan Piala Dunia 2018?
Dari sekian ritual “kemapanannya”-nya, ajang empat tahunan ini tetap menye lipkan hal-hal menarik, salah satunya soal variabel tim kejutan. Marwah kejutan inilah yang menjadikan sepak bola mampu membetot perha tian miliaran para pecandu olahraga berbasis pada kaki ini. Dan satu yang punya kans diham piri kejutan itu adalah timnas Rusia. Meski didapuk tuan rumah, Rusia ternyata masih masygul terkait peluang timnya. Jika menengok hasil terakhir, rasanya kok berat Rusia bisa berbuat banyak. Jangan-jangan negeri Vladimir Putin ini hanya akan menjadi “pupuk bawang” di ajang empat tahunan ini. Kok bisa?
Biar tidak dianggap fiksi dan menebarkan kecemasan kepada pendukung Rusia, mari kita simak sejumlah fakta ter akhir yang bisa dijadikan rujuk an menerawang kans Igor Akin feev dkk. Kita mulai pene ra wangan pada ajang Piala Mayor. Pada Piala Konfederasi 2017 negara yang luasnya 17,1 juta km2 atau sembilan kali luas Indonesia itu sudah angkat koper pada babak grup setelah hanya memetik sebiji kemenangan dari tiga laga. Hanya menang dari tim lemah wakil Oceania Selandia Baru dan takluk dari juara Piala Eropa 2016 Portugal dan wakil Amerika Utara Meksiko menjadi “prestasi” Rusia.
Padahal di kejuaran pemanasan jelang Piala Dunia 2018 ini, Rusia mematok target ting gi: Tembus semifinal! Selain Portugal, secara matematis sebenarnya Rusia diprediksi bisa melaju ke semifinal karena di atas kertas peluangnya seba gai tuan rumah lebih besar ke tim bang Meksiko dan Selandia Baru. Celakanya, pada laga penentuan grup anak asuh Stanislav Cherchesov harus memu pus asa ke semifinal setelah takluk
1-2 dari Meksiko. Partai uji coba terakhir juga tak membuat pendukung Rusia bisa menepuk dada. Mereka cuma sekali menang saat bersua Korea Selatan. Dua laga lain berakhir imbang, masingmasing melawan Iran dan Spanyol, sedangkan satu sisanya menyerah di tangan Argentina.
Mimpi buruk persiapan Rusia berlanjut laga uji coba terakhir pada Maret lalu. Alan Dzagoev dan kolega dipermak Brasil 3-0 pada 23 Maret dan menyerah 3-1 dari Prancis empat hari kemudian. Sebuah hasil yang membuat Stanislav makin mumet di tengah melambungnya ekspetasi publik Rusia. Padahal target muluk sejak dini sudah diapungkan “PSSI” Rusia agar Sbornaya, julukan Rusia menjejak semifinal Piala Dunia 2018. Sebuah target maha berat yang harus dipanggul anak asuh Stanislav Cherchesov. Belum lagi di luar persoalan sepak bola, timnas Rusia juga sempat digoyang isu boikot sebagian negara-negara peserta Piala Dunia 2018 terkait kasus upaya pembunuhan mantan agen Sergei Skripal dan putrinya Yulia di Inggris pada 4 Ma ret lalu. Meski tak signi fikan, isu Skripal membuat hubungan antara Rusia dan negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis sempat panas-dingin. Secara tak langsung, isu ini juga memberi efek psikologis buruk terhadap persiapan timnas Rusia.
Keperkasaan bernama Uni Soviet
Di luar hitung hitungan soal peluang, dunia sepak bola Rusia sejatinya pernah harum ketika di bawah panji Uni Soviet. Sebelum bernama Rusia negara ini merupakan salah satu negara digdaya di pentas sepak bola. Hasil berkilap yang belum pernah diraih Rusia sudah pernah digapai era Soviet. Mereka menyentuh perempat final Piala Dunia 1958 di Swedia, Cile 1962, dan Meksiko 1970. Uni “CCCP” Soviet bah kan mendapatkan peringkat lebih baik lagi pada Piala Dunia 1966 Inggris dengan menggapai semifinal sebelum dihentikan Jerman Barat. Sayangnya, sejak kehan curan Uni Soviet dan bersalin nama menjadi Rusia, mereka men jadi nirprestasi dan tidak lagi mampu mengulang capaian pendahulunya tersebut.
Tiga kali melaju ke putaran final Piala Dunia 1994, 2002, dan 2014 harus dilalui ahli pewaris Uni Soviet itu sebagai objek penderita: gagal melewati babak penyisihan grup. Mimpi buruk Igor Akinfeev dan kolega juga belum berakhir di ajang resmi. Pada Piala Dunia 2014 dan Piala Eropa 2016 mereka lagi-lagi mentok di penyisihan grup alias angkat koper lebih awal. Bukan hanya soal prestasi. Jauh sebelum bernama Rusia, rahim negeri Beruang Merah juga banyak melahirkan seniman-seniman lapangan hijau jempolan. Di antara “kameradkamerad” sepak bola itu, nama penjaga gawang legendaris Lev Yashin menjadi yang terdepan.
Yashin mengantongi label men corong satu-satunya penjaga gawang yang memenangkan Golden Ball (penghargaan untuk pemain terbaik dunia pada akhir musim) dalam sepak bola. Yashin melakukan debutnya pada Piala Dunia 1958 bersama tim nasional Uni Soviet. Negara yang pernah dipimpin Boris Yeltsin itu berhasil menginjakkan kakinya di per empat final Piala Dunia tahun itu namun dikalahkan tuan rumah Swedia. Yashin tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya kiper yang berhasil mengga galkan tendangan penalti pada Piala Dunia saat itu. Di luar Yashin, Liga Uni Soviet juga melahirkan nama Netto, Ivanov, Arkadyev, Oleg Blokhin (top skor Soviet Top League sepanjang masa), dan Valeriy Lobanovsky (pahlawan sepak bola Ukraina). Di liga domestik, Spartak Moscow dan Dynamo Kiev menjadi tim paling sukses era ëimperiumí Uni Soviet.
Masing-masing meraih 12 dan 13 gelar juara liga. Ditambah juga 10 dan 9 gelar Soviet Cup untuk Spartak Moscow dan Dynamo Kiev. Romantisme kedigdayaan Uni Soviat tak berhenti di situ. Pemain-pemain Uni Soviet dikenal memiliki jiwa petarung dan karakter kuat. Hal ini sedikit banyak terkait kentalnya hubungan sepak bola dengan dunia politik. Kelindan unik di rezim otoriter inilah yang di kemudian hari membentuk mental juara tim-tim Uni Soviet. Sepak bola memiliki kaitan erat, baik secara pendanaan maupun afiliasi politik. Dynamo identik dengan polisi rahasia.
CSKA merupakan timnya tentara.Lalu Lokomotiv adalah klub pegawai kereta api. Sementara Torpedo didukung perusahaan mobil Torpedo- ZIL. Kaitan politik dan klub itu nyatanya membuat sepakbola Uni Soviet kuat dan mencetak sejumlah pemain berkarakter juara. Memutar kembali romantisme sepak bola Uni Soviet, mungkin kalimat ini yang komat-kamit terucap di bibir pendukung Rusia sebelum gong Piala Dunia 2018 ditabuh 14 Juni mendatang. Akan menjadi aib apabila bermain di rumah sendiri Rusia gagal berprestasi. Minimal Igor Akinfeev dkk bisa lolos penyisihan grup dulu agar aib itu benarbenar tidak hadir di negeri vodka itu. Bola bulat, semua kemungkinan bisa saja terjadi.
Ada gium klasik itu wajib menjadi mantra yang harus terus digelorakan para pemain Rusia untuk mengamit hasil terbaik. Bisakah negeri dedengkot komunis ini menghadirkan kembali romantisme ketangguhan sepak bola Uni Soviet? Laga pembuka Rusia menjamu Arab Saudi pada 14 Juni seusai seremoni pembukaan Piala Dunia 2018 menjadi ujian pertama. Siap bertarung kamerad?
No comments:
Post a Comment